Jumat, 14 Desember 2012

Friday, May 14, 2010

Dua Jam Bersama Hasan Tiro 

 

Nasional
TEMPO NO. 13/XXIX/29 Mei - 4 Juni 2000
Pemimpin Gerakan Aceh Merdeka itu masih sehat walafiat. Selama dua jam ia menerima TEMPO di apartemennya di Stockholm, Swedia.
_________________________________________________________________
LELAKI itu merapatkan mantelnya. Ia berdiri di pintu balkon menghadapke luar apartemen. Angin dingin musim semi berembus. Lima belas derajat Celsius. Kering, menusuk seperti jarum. Di luar, laut M_laren yang menggenangi Kota Stockholm berpendar-pendar. Di atasnya, sebuah bukit warna cokelat menyembul dari permukaan air. Udara cerah. Awan meriaki biru langit.

"Lihat pemandangan itu," katanya. "Mirip sekali dengan Aceh." Lelaki itu, Hasan Muhammad di Tiro, 75 tahun, kembali merapatkan mantelnya. Rambutnya yang putih tersisir ke samping. Rautnya keras dan giginya kusam termakan usia. Sesekali ia tersenyum.

Bagi sebagian besar orang Aceh, Hasan Tiro adalah legenda. Ia jarang muncul ke depan publik. Wawancara dengan pers dilakukan terbatas hanya kepada wartawan asing. Pernah ia melakukan wawancara kepada media Indonesia, tapi itu hanya dilakukannya melalui telepon internasional.

Tiro memang sosok yang jarang tampil ke muka publik. Dalam perundingan

putaran terakhir antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Indonesia

dan Henry Dunant Centre di Jenewa, Swiss, 12 Mei lalu, ia memang

sempat muncul. "Kami sempat bercanda," kata Duta Besar/Perwakilan

Tetap Indonesia di PBB, Hassan Wirajuda, yang mewakili Indonesia dalam

pertemuan itu. Tapi setelah itu ia raib. Pers yang memburunya tak

menemukan jejaknya. Menurut seorang stafnya, dari Jenewa ia langsung

terbang ke Zurich bersama Menteri Negara GAM Malik Mahmud.



Sebagai presiden National Liberation Front of Acheh Sumatra (NLFAS),

organisasi yang lebih dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka, tak aneh

jika Hasan Tiro banyak bersembunyi. Selama bertahun-tahun, terutama

setelah mendeklarasikan berdirinya Negara Aceh Merdeka pada 4 Desember

1976, ia adalah incaran nomor satu aparat keamanan Indonesia dengan

tuduhan sebagai pemimpin pemberontakan Aceh. Keluar-masuk hutan selama

tiga tahun (1976-1979), pada 29 Maret 1979 Tiro akhirnya memutuskan

untuk meninggalkan tempat persembunyiannya di Aceh dan berlayar ke

luar negeri. Ia sempat ke Amerika dan beberapa negara lain sebelum

akhirnya menetap di Stockholm, Swedia, hingga kini.



TEMPO diterima staf GAM dan Hasan Tiro dengan tangan terbuka. Di

sebuah apartemen pinggiran kota itulah kami bertemu, Sabtu dua pekan

lalu. Apartemen itu tidak terlalu luas, sekitar 100 meter persegi. Di

ruang tengah apartemen itu terletak seperangkat sofa warna kuning yang

berhadapan dengan meja kerja Tiro yang besar. Di atas meja kerja

itulah Tiro menumpuk map, kertas, dan sebuah vandel bendera Aceh

Merdeka serta sebuah miniatur bola dunia. Di samping meja itu terdapat

meja kecil yang dipenuhi foto koleksinya. Foto Hasan Tiro bersama

pasukan GAM, foto ketika ia berada di Amerika, foto istri dan anaknya,

Karim di Tiro, serta foto seorang jabang bayi yang masih merah. "Itu

anaknya Karim. Cucu saya," katanya.



Agak ke samping terdapat sebuah meja kerja lagi. Sebuah dinding yang

dipenuhi oleh kliping media yang memuat berbagai pemberitaan tentang

Aceh dan GAM serta foto Hasan Tiro dalam berbagai kesempatan pertemuan

internasional.



Siang itu Hasan Tiro tampil bersahaja. Ia mengenakan setelan warna

biru. Tubuhnya yang tak besar, sekitar 160 sentimeter, dibalut mantel

warna biru tua. Dibandingkan dengan fotonya pada tahun 1980-an yang

banyak beredar, ia kelihatan lebih kurus. Tapi wajahnya cerah dan

matanya berbinar. Suaranya masih jernih meski kadang tersendat. Yang

menarik, ia menggunakan bahasa Inggris. Menurut kalangan dekatnya,

Tiro memang enggan berbahasa Indonesia meski ia mampu. Kebenciannya

pada Indonesia menyebabkan ia lebih suka memakai bahasa Aceh atau

bahasa asing lainnya dalam berkomunikasi.



TEMPO, yang berulang kali meminta agar obrolan kami itu direkam dan

dijadikan bahan wawancara, ditolaknya dengan halus. Begitu juga ketika

TEMPO ingin memotretnya. "Bukan sekarang saatnya," katanya.



"Anda sudah baca buku ini?" tanya Tiro tiba-tiba. Tangannya

menggenggam sebuah buku seukuran diktat kuliah bersampul kuning, The

Drama of Achehnese History 1873-1978. Itu adalah naskah teater tentang

Perang Aceh yang ditulis Tiro pada 1978. Naskah 56 halaman itu

memadukan dua pengetahuan Tiro sekaligus: sejarah Aceh dan musik

klasik. Tiro memakai komposisi Purcell, Johann Sebastian Bach,

Beethoven, dan beberapa komposer Barat lainnya untuk membuka dan

menutup adegan. Tiga halaman pengantar drama itu ditulis oleh Husaini

Hasan, Menteri Pendidikan Aceh Merdeka-tokoh yang belakangan

meninggalkan Hasan Tiro dan mendirikan Majelis Pemerintahan GAM.



"Coba Anda baca bagian ini keras-keras," demikian Tiro meminta. Dalam

kata pengantarnya Husaini Hasan menceritakan suka duka Hasan Tiro

menulis naskah itu ketika bergerilya di hutan-hutan Mampr_e di Gunung

Patisah Pidie, Aceh, akhir tahun 1970-an. "Tengku (Hasan Tiro) menulis

dari pukul 7 pagi hingga 6 petang. Kami tak punya lampu jika malam.

Itu semua dilakukannya sewaktu kami semua berhari-hari menunggu suplai

makanan dari kampung," tulis Husaini.



Tiba-tiba, Tiro beranjak ke pojok ruangan. Ia menyetel kaset Johann

Sebastian Bach. Toccata & Fugue dan Air in G. String sayup-sayup

segera merambati ruangan. Sunyi. Tak ada suara selain gesekan biola

dan naskah drama yang dibaca TEMPO pelan-pelan. Sekali lagi lelaki itu

termenung. Tubuhnya disorongkannya ke depan. Wajahnya serius. Matanya

seperti menembus dinding apartemen. "Drama" satu babak itu berakhir.

Tiro kembali berdiri.



Hasan Tiro lelaki yang romantis. Ia menikmati kesendiriannya. Anak dan

istrinya tinggal di Amerika. Karim di Tiro, 31 tahun, adalah doktor di

sebuah universitas di Negeri Paman Sam itu. Wajah Karim tampan,

badannya gagah. Maklum, ibunya perempuan Amerika. Hasan Tiro sangat

bangga pada anaknya.



Tiro kembali mengeluarkan sebuah buku. Sebuah jurnal ilmiah yang

memuat tulisan Karim. Pada halaman pertama buku itu, Karim menorehkan

tanda tangan di bawah sebuah kalimat pendek, "For Papa". Ketika

menunjukkan buku itu, mata Tiro berbinar.



"Anda dulu sekolah di mana?" tanyanya tiba-tiba. Ketika mendengar

jawaban Universitas Indonesia, lelaki itu tiba-tiba menyemprot,

"That's stupid". Tak jelas apa yang diejek oleh Tiro. Tapi rasanya

kata "Indonesia" memang selalu membuatnya gusar. Di mata Tiro,

Indonesia adalah sebuah gagasan yang absurd.



Dalam sebuah artikel yang ditulisnya pada November 1980, The Legal

Status of Acheh Sumatra under International Law, Tiro menyebut

penyerahan kedaulatan Aceh dari Belanda kepada Indonesia pada 1949

sebagai sesuatu yang ilegal. Basis hukum yang dipakainya adalah

Resolusi PBB yang mewajibkan negara kolonialis menyerahkan daerah

jajahannya kepada penduduk asli. Indonesia, menurut Tiro, bukanlah

penduduk asli Aceh. "Penyerahan kedaulatan itu dilakukan tanpa

pemilihan umum yang menyertakan seluruh masyarakat, termasuk

masyarakat Aceh," katanya dalam wawancara dengan televisi Hilversum

Belanda pada 1996.



Dengan kata lain, di mata Tiro, Indonesia adalah negara yang

dipaksakan keberadaannya oleh Sukarno. Daerah seperti Aceh, Padang,

Maluku, Kalimantan, yang sesungguhnya punya hak untuk menjadi kawasan

yang berdaulat, dibelenggu dalam satu ikatan "Indonesia" oleh presiden

pertama Indonesia itu. Sukarno memang terobsesi oleh gagasan negara

kesatuan. Wilayah Indonesia, menurut Sukarno-lalu didukung Muhammad

Yamin-adalah wilayah bekas jajahan Belanda yang wujudnya adalah

Indonesia seperti yang kita lihat sekarang.



Tapi Tiro membantah konsep "Indonesia" itu. Menurut dia, perjuangan

kemerdekaan melawan Belanda dari setiap daerah adalah upaya setiap

anak bangsa untuk membebaskan kawasannya sendiri dan bukan untuk

"Indonesia". Gagasan Indonesia barulah muncul belakangan. Itulah

sebabnya penyerahan kedaulatan 1949 ditandai Tiro sebagai beralihnya

penjajahan Belanda menjadi penjajahan Indonesia/Jawa di Aceh.



Dibandingkan dengan era 1950, pada tahun 1980-an ada pengerasan sikap

pada diri Tiro. Dalam buku Demokrasi untuk Indonesia yang ditulisnya

di Amerika pada 1958 (buku ini dicetak ulang dua kali di Jakarta pada

1999 lalu), yang menjadi pusat kritiknya adalah gagasan negara

persatuan Sukarno. Menurut Tiro, dengan wilayah yang luas sangat tidak

mungkin jika Indonesia dipaksakan menjadi negara persatuan. Dalam buku

itu Tiro mengusulkan federalisme sebagai pilihan yang terbaik untuk

demokrasi Indonesia. Artinya, pada era ini Tiro masih memberi

alternatif bagi penyelesaian hubungan pusat-daerah.



Tapi akumulasi nasib buruk yang menimpa rakyat Aceh selama

bertahun-tahun membuat seorang Hasan Tiro tidak memiliki pilihan lain

kecuali memerdekakan Aceh. Bantuan Aceh untuk Republik pada masa-masa

awal perang kemerdekaan dijawab pemerintahan Sukarno dan Soeharto

dengan menjadikan Aceh, sebagaimana kawasan lain, sebagai prioritas

nomor dua secara politik dan ekonomi. Karena ketidakpercayaan terhadap

pemerintahan Jakarta selama bertahun-tahun itu pulalah ide otonomi

daerah yang ditawarkan Abdurrahman Wahid tidak pernah ditanggapi Tiro

dan kelompoknya.



"Saya ingin memperdengarkan satu kaset pada Anda," kata Hasan Tiro

tiba-tiba. Ia mengambil sebuah kaset bersampul putih dan sebuah tape

recorder. Kaset itu berisi pidato Tiro di muka pasukan GAM di Tripoli,

Libya, pada 1985. Sebuah pidato yang membakar semangat pasukan yang

disampaikannya dalam bahasa Arab, Prancis, Inggris, dan Aceh. Beberapa

kali TEMPO berusaha menanyakan konteks peristiwa pidato itu, tapi ia

cuma menjawab pendek, "Just listen."



Tiro memang sering tak ingin menjawab. Beberapa pertanyaan tentang ide

Aceh merdeka dijawabnya pendek sebelum akhirnya ia beralih ke topik

lain. Beberapa kali ia bahkan cuma menyahut, "Baca saja buku ini,"

sambil menunjuk beberapa buku yang pernah ia tulis.



Pada masa mudanya Tiro memang banyak menulis. Selain Drama dan Legal

Status of Acheh Sumatra, ia juga pernah menulis The Prince of Freedom:

The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro. Buku 226 halaman ini

merupakan catatan hariannya ketika ia berperang di hutan Aceh pada

1976-1979.



Di buku itulah ia menggambarkan kepulangannya kembali ke Aceh pada

1976-setelah 25 tahun tinggal di Amerika-seperti kedatangan Napoleon

yang mendarat di Teluk Juan dari Pulau Elba atau Julius Caesar yang

melintasi Rubicon. Pada 30 Oktober 1976 itu ia melukiskan dirinya

dengan mengutip sebuah karya Nietzche, Thus Spoke Zarathustra:



Di tempat pendaratannya, di Kualatari datang menjemput pasukan Tiro di

bawah pimpinan Daud Paneuk, tokoh yang kini juga tinggal di Swedia dan

belakangan meninggalkan Tiro dengan membentuk MP GAM. "Sungguh tidak

mudah meninggalkan kehidupan saya di Riverdale New York dan memilih

tinggal di hutan yang pekat sebagai pemimpin gerilya," tulis Tiro.



Ia kini memang tidak tinggal di Aceh. Ia memimpin pasukan gerilyanya

dari jauh. Sebuah negara di kawasan Skandinavia, hampir 8.000 mil dari

tanah kelahirannya. Ide Aceh Sumatra merdeka yang diambilnya dari

daerah kekuasaan Kesultanan Iskandar Muda dulu masih dipercaya

pendukungnya sebagai perekat bagi persatuan bangsa Aceh dan Sumatra.

Kepemimpinannya di kalangan GAM dipatuhi, meskipun sebagian orang

menggugat Hasan Tiro karena kepemimpinannya di GAM tidak lepas dari

unsur mengalirnya darah Tiro dalam dirinya. Untuk waktu yang lama GAM

memang belum bisa lepas dari pola suksesi ala kesultanan ini.



Hari menjelang sore. Jam dinding di rumah Tiro menunjukkan pukul empat

sore. Tapi pada musim semi yang memanjangkan siang, petang itu

matahari masih terik. TEMPO mohon diri dan Tiro mengantar sampai ke

luar. Di muka pintu ia mengepalkan tangannya dan berteriak dengan

suara bergetar, "Sumatra!" Dari balik pintu lift yang perlahan

tertutup, masih tampak lelaki itu merapatkan mantelnya, sekali lagi.



Arif Zulkifli (Stockholm, Swedia)

Tidak ada komentar: