Sabtu, 04 April 2020

Pelajaran dari Covid-19 : The Good, The Bad, and The Ugly



Pandemi Corona bisa menjadi pandemi terburuk sepanjang sejarah peradaban manusia, karena hingga kini sudah menjangkit lebih dari 170 negara di Dunia. Ironinya, ini terjadi justru ketika peradaban teknologi manusia seharusnya mumpuni untuk mendeteksi, mencegah, dan membasminya.



Mengapa dampak Corona bisa begitu meluas dan tumbuh menyebar dengan sangat cepat ? Ini adalah dampak terburuk dari globalisasi, dimana barang dan jasa bergerak sangat leluasa ke seluruh Dunia dan otomatis juga diikuti dengan interaksi dan pergerakan manusia-manusia yang ada di belakangnya.



Maka tidak mengherankan bila kita lihat penyebaran Covid-19 di seluruh Dunia, sangat mirip dengan penyebaran barang-barang eksport hasil produksi China, yaitu negara dimana kilometer 0 dari pandemi Covid-19 ini bermula. Sebagaimana produk-produk China menguasai Dunia, demikian pula Covid-19 mengikutinya.



Sehingga tidak mengherankan bila Amerika pun kini menjadi Negara yang terjangkit Covid-19 paling banyak karena Negeri itu juga paling banyak mengimport produk produk dari China sehingga Presiden Negeri itu suka uring-uringan dengan masalah devisit perdagangan Negaranya dengan China.



Saya tidak mengatakan bahwa barang-barang produk China ini membawa virus Covid-19, tetapi yang saya katakan adalah peredaran barang-barang tersebutlah yang menyebabkan interaksi manusia mengikutinya. Maka dengan interaksi antar manusia-manusia inilah Covid-19 merajalela ke seluruh Dunia saat ini.



Tetapi pada saat yang bersamaan saya juga tidak ingin mengatakan bahwa globalisasi itu buruk. Ada titik baiknya (The Good), titik yang buruknya (The Bad) dan titik yang sangat buruk (The Ugly). Untuk menjelaskan ini, saya gunakan formula Gross Domestic Product (GDP) dibawah, karena GDP ini merepresentasikan kemakmuran suatu negara.



Gambar 1 Gross Domestic Product Formula



Dari formula GDP diatas, kita bisa melihat bahwa kemakmuran suatu Negara secara ekonomi ditentukan oleh tingkat konsumsinya, investasinya, belanja negaranya, tingkat eksportnya, dan dikurangi tingkat importnya.



Dari formula ini nampak jelas bahwa negara-negara yang eksportnya kuat, dialah yang akan makmur secara ekonomi dan sebaliknya negara yang semakin banyak import akan menggerus kemakmuran penduduk negerinya.



Tetapi di zaman modern ini karena kita tidak bisa hidup sendiri dan tidak bisa terlepas dari berbagai teknologi yang realitanya harus kita import dari negara lain, maka yang harus kita kuatkan adalah sisi eksport kita. Semakin baik kita mampu mengeksport produk-produk kita, akan semakin makmur negeri kita.



Inilah The Good Side dari globalisasi. Kita bisa mengeksport berbagai produk-produk nilai tambah yang dihasilkan oleh generasi-generasi inovatif negeri ini ke sebanyak mungkin negara. Sayangnya, eksport kita dari produk-produk nilai tambah tersebut belum menjadi eksport yang dominan dari negeri ini.



Yang paling dominan masih eksport hasil tambang yang berarti mengeruk kekayaan alam kita dan eksport minyak nabati yang juga menggerus sekian banyak sumber alam kita. Contoh lain adalah Negeri Brazil yang harus membabat hutannya demi eksport produk-produk pertanian berupa gula tebu dan kedelai.



Untuk sementara akan baik bagi negeri itu, tetapi sumber daya alam mereka berupa hutan Amazon, lama-lama akan terkikis habis. Inilah The Bad Side dari globalisasi dan eksport barang-barang yang mengandalkan sumber daya alam semata dengan nilai tambah yang tidak maksimal.



Lantas apa yang menjadi The Ugliest atau sisi terburuk dari globalisasi ? Covid-19 yang mengikuti pergerakan manusia-manusia di belakang perdagangan global tersebut diatas adalah salah satunya. Tetapi juga menjadi contoh The Ugliest adalah bila akhir dari babak pandemi Covid-19 ini kita gagal mengambil pelajarannya.



Pelajaran apa yang harus bisa kita ambil ? Kembali ke formula GDP tersebut diatas. Bila kita gagal memproduksi secara maksimal kebutuhan-kebutuhan kita sendiri, bila kita gagal memaksimalkan nilai tambah dari sumber daya alam kita, dan bila kita terus mengambil jalan pintas yaitu import saja kebutuhan-kebutuhan kita selagi masih bisa import.



Bila ini yang terjadi, saya tidak akan heran bila di akhir pandemi global Covid-19 ini China akan kembali yang berjaya mengambil manfaatnya. Saat ini gejala ini pun sudah nampak yaitu negeri mana yang paling siap dengan peralatan, obat, dan tim medis melawan Covid-19 ? dialah China, sampai-sampai di Italia lagu kebangsaan China didengarkan di Negeri itu karena Negeri itu merasa China lah pahlawan mereka dalam perang melawan Covid-19 ini.



Pelajaran dari pandmei Covid-19 tidak harus hanya setingkat negara yang bisa mengambilnya. Saya ambilkan contoh daerah-daerah di Indonesia yang sekarang lagi rame-rame mengkarantina dirinya sendiri. Di satu sisi, mereka betul bahwa inilah upaya terbaik untuk membatasi gerakan manusia yang bisa menularkan Covid-19, tetapi pelajarannya yang harus diambil adalah dalam proses isolasi diri tersebut, daerah-daerah tersebut akan segera tahu betapa mereka tidak bisa mandiri mencukupi kebutuhan penduduk di daerahnya.



Dua kebutuhan terbesar utamanya yaitu pangan dan energi setidaknya pasti bergantung pada daerah lain. Itulah sebabnya, kita harus bisa pahami bahwa urusan isolasi - mengisolasi ini harus diambil dari pusat, karena bila tidak akan berantakan upaya pemenuhan kebutuhan pokok di masing-masing daerah.



Bayangkan bila bahan pangan dan energi tidak bisa bergerak dari satu daerah ke daerah lain, maka akan timbul banyak kesulitan di semua daerah yang terdampak. Maka inilah pelajarannya, daerah-daerah harus berusaha keras memproduksi kebutuhan pokoknya sendiri, minimal dalam hal bahan pangan dan energi karena ini adalah dua kebutuhan terdasar manusia modern saat ini. Dengan memproduksi 2 hal ini saja, suatu daerah akan bisa maju dan makmur penduduknya karena mengikuti formula tersebut diatas akan bisa menekan 'import' dari daerah lain.



Bagaimana daerah bisa memproduksi pangan dan energinya ? Memproduksi pangan mungkin tidak terlalu sulit bagi kebanyakan daerah di tanah air. Tanah-tanah kita tergolong subur, dihampir seluruh wilayah tinggal memaksimalkan apa yang ditanam dan menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang ada di dekatnya.



Bila ini dilakukan, maka akan ada dua dampak baiknya, pertama daerah tersebut akan mandiri pangan, kedua juga mengintrodusir apa yang disebut local food, yaitu bahan pangan yang dikonsumsi dari daerah yang sama dengan daerah produksinya. Inilah bahan pangan masa depan karena akan menjadi bahan pangan dengan foot print CO2 yang rendah.



Lantas bagaimana dengan energi ? Kan tidak semua daerah memiliki sumber daya energinya sendiri ? Betul, kalau memang tidak bisa diproduksi di daerah yang bersangkutan, energi ini memang paling efisien diurusi secara nasional. Tetapi setidaknya, dengan sudah memproduksi pangan sendiri dan daerah hanya perlu 'import' energi, tingkat kemakmuran daerah tersebut sudah akan secara signifikan membaik.



Lebih dari itu, di era Bio Economy sebenarnya sumber-sumber energi berbahan bakar tanaman juga semakin hari semakin visible. Daerah-daerah yang mau mulai belajar dapat juga memproduksi bahan bakarnya sendiri akan bertahap bisa mengurangi ketergantungan 'import' energi dari daerah lain. Bahkan bila ini dilakukan serentak di semua daerah, bersama-sama kita bisa menjadi eksportir biofuel ke negara lain pada waktunya nanti.



Bukan kah pada waktunya kita juga harus ekport dan kita harus berinteraksi dengan penduduk-penduduk negara lain yang berati juga akan membuka peluang menjalarnya pandemi baru bila itu terjadi ? Justru disinilah masyarakat dunia harus belajar dari pengalaman pahit Covid-19. Tingkat teknolgi ITE yang ada saat ini dan terus berkembang seharusnya bisa untuk mewujudkan pola interaksi dan transaksi manusia-manusia di dunia yang lebih aman dan lebih efisien.



Maka peluang di era perubahan paradigma perdagangan global pasca pandemi Covid-19 tersebut lah yang juga harus kita antisipasi dan kita songsong sehingga sedapat mungkin kita dapat mengambil pelajaran maksimal dari penderitaan yang kita alami selama pandemi Covid-19 berlangsung ini.(Published on Tuesday, 31 March 2020 09:22 Oleh : Muhaimin Iqbal)

sumber ://http://www.geraidinar.com/using-joomla/extensions/components/content-component/article-categories/86-gd-articles/ekonomi-makro/2039-pelajaran-dari-covid-19-the-good-the-bad-and-the-ugly">

Sabtu, 15 Februari 2020

Ketahanan Pangan Urusan Siapa? 

Sebagaimana kita ketahui, ketahanan pangan suatu negara diukur melalui 3 parameter yaitu ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan serta kualitas dan keamanan pangan, di ketiganya mestinya bisa kita perbaiki.

Dalam ketersediaan pangan, tanah kita luas dan relatif subur. Sungguh ironi bila ketahanan pangan terbaik di dunia justru di negeri tetangga kita yaitu Singapore yang nyaris tidak ada lahan untuk ditanami tanaman pangan. Apakah Singapore dengan mudah mencapainya karena penduduknya sedikit? Bisa jadi demikian.

Tetapi ada juga negeri yang sangat besar, jauh lebih besar dari kita yaitu China yang memiliki ketahanan pangan yang jauh lebih baik dari kita, sedangkan buminya juga tidak lebih subur dari kita. Kok bisa? Maka kita harus mau belajar dari Singapore maupun China untuk masalah ketahanan pangan ini.

Dalam berbagai kesempatan saya bertemu dengan para penggiat pangan dari dua negara tersebut yang nampak sekali adalah ke khawatiran mereka akan ketahanan pangan ini di negeri mereka. Ke khawatiran-khawatiran inilah yang mendorong mereka untuk berbuat maksimal mengatasi ketahanan pangan mereka dengan seluruh sumberdaya yang dimiliki.

Singapore khawatir ketahanan pangannya karena tiadanya lahan untuk menanam, maka mereka menempuh berbagai cara untuk mengamankan pangannya dalam jangka panjang. China ke khawatirannya didorong oleh penduduknya yang amat sangat banyak, maka mereka pun berjuang habis-habisan untuk make sure pangan tersedia cuku bagi negeri yang berpenduduk lebih dari 20% penduduk dunia itu.

Di lain pihak kita sejak kecil di nina bobokkan dengan bumi kita yang konon gemah ripah loh jinawi, tongkat dan batu pun jadi tanaman sehingga kita tidak cukup kuat untuk bekerja keras membangun ketahanan pangan ini. Lantas bagaimana kita bisa memotivasi penduduk negeri ini agar kita mau bekerja ekstra keras melebihi penduduk negeri-negeri yang saya jadikan sebagai contoh memiliki ketahanan pangan yang baik tersebut diatas?

Pelajaran terbaik tentu ada pada petunjuk dari Dia Sang Pencipta kita, Dia sudah memberikan tuntunan yang amat sangat detail untuk ketahanan pangan ini di Al Qur'an. Berbagai reward and punishment disebutkan didalam Al Qur'an yang terkait dengan pangan ini. Bahkan sistem reward and punishment ini bahkan jauh lebih baik dari yang memotivasi penduduk negeri Jiran dan China untuk membangunketahanan pangannya.

Di Dalam Al Qur'an petunjuk itu dilengkapi dengan sangat detail untuk pelaksanaannya dan sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Untuk reward bagi orang-orang yang mau bekerja ekstra keras menempuh jalan yang mendaki lagi sulit demi untuk bisa memberi makan orang lain misalnya, Allah akan masukkan orang-orang seperti ini menjadi golongan kanan (QS 90: 11-18). Dan golongan kanan inilah yang kelak akan sampai Surga dengan berbagai kenikmatannya (QS 56: 27-40).

Kalau janji berupa reward  sebagai golongan kanan ini belum cukup untuk menggerakkan kita untuk memberi makan ini, maka ancaman-Nya yang sangat serius bisa menjadi pendorong kita untuk bersegera bekerja keras membangun ketahanan pangan ini.

Diam nya kita dan tidak acuhnya kita sehingga tidak mau menganjurkan untuk memberi makan ini saja sudah membuat stampel buruk pada diri kita sebagai pendusta agama (QS 107: 1-3). Bahkan kedudukan orang yang tidak peduli terhadap kebutuhan makan orang lain ini menempatkan kedudukan orang tersebut sama dengan orang yang tidak shalat (QS 74: 42-44).

Indahnya petunjukNya itu bukan hanya sekedar membangkitkan semangat kita untuk bekerja keras membangun ketahanan pangan ini dengan reward and punishment tetapi dia juga memberi petunjuk yang sangat detail-how to do it bagi kita yang hidup di negeri yang sangat subur ini.

Bahkan ada dua surat di Al Qur'an yang menggambarkan negeri seperti yang kita miliki ini. Pertama di surat An Naba Allah menggambarkan negeri yang sangat subur ini adalah negeri yang mendapatkan sinar matahari yang sangat terang dan hujan yang sangat lebat (QS 78: 13-16).

Senada dengan ini ada dalam surat Abasa yang menggambarkan bumi yang sangat subur dengan segala macam tanaman yang komplit tumbuh digambarkan sebagai negeri yang dicurahi hujan dan negeri yang tanahnya subur (QS 80: 25-32). Dengan gambaran di surat An Naba dan surat Abasa tersebut coba kita renungkan negeri mana yang seperti ini?

Di negeri-negeri Arab dan Afrika mereka mempunyai sinar matahari yang terang tetapi hujannya sangat sedikit dan tanahnya tidak subur. Di negeri-negeri Eropa dan Amerika Utara tanah mereka relatif subur tetapi penyinaran matahari tidak sepanjang tahun.

Jadi poinnya adalah dengan negeri yang begitu subur, memenuhi syarat untuk semua jenis tanaman tumbuh mestinya negeri ini menjadi sumber ketahanan pangan bukan hanya bagi penduduk negeri kita sendiri tetapi kita harus bisa membangun ketahanan pangan untuk diri kita sendiri dan penduduk negeri-negeri lain yang alamnya tidak seberuntung kita.

Lantas darimana kita memulainya? Pertama tentu menyadarkan kita bahwa urusan ketahanan pangan atau dalam bahasa Al Qur'an nya memberi makan ini adalah benar-benar urusan kita apapun pekerjaan kita dan profesi kita, kita semua terkena kewajiban memberi makan ini.

Ini bukan hanya tugas bagi para petani atau pekerjaan lain yang terkait pertanian tetapi tugas kita semua. Harus melekat pada diri kita tanggungjawab besar bahwa kita di vonis oleh Allah belum melaksanakan perintahnya sebelum kita memperhatikan urusan pangan ini (QS 80: 23-24).

Setelah kita menyadari menyadari peran ini kita bisa mencari berbagai jalan agar kita terlibat dalam kegiatan memberi pangan ini. Kalau kita bisa menanam sendiri itu tentu yang terbaik, kalau tidak minimal kita mau ikut memikirkan dan mendorong orang lain untuk terlibat dalam kegiatan pengadaan ini. Syukur-syukur kita juga bisa mendanainya.

Bila kita berhasil membangun kesadaran untuk memberi makan ini kepada mayoritas penduduk negeri ini, InsyaAllah kita akan bisa membangun ketahanan pangan yang bahkan bisa lebih baik dari Singapore maupun China tersebut diatas. InsyaAllah kita bisa.